Tidak lama setelah G/30/S/PKI pada tahun 1965, sejumlah keluarga suku Karo yang tidak lagi merasa aman untuk tetap tinggal di kampung mereka, dan juga sejumlah keluarga suku Toba yang sedang mencari lahan yang baru untuk dihuni, akhirnya mulai tiba di daerah pinggiran kota Medan. Di tempat hunian mereka yang baru, mereka mulai merasakan betapa pentingnya kesatuan dan agama, yaitu Katolik.
Dua Pastor Kapusin mendapat tugas untuk memelihara dan melayani mereka: yaitu P. Diego Van Biggelar, OFMCap. dari paroki Katedral, yang berkarya bagi kelompok suku Toba, sementara yang satu lagi adalah P. Johannes Maximus Brans, OFMCap. dari paroki St. Antonius di Hayam Wuruk, yang memberikan pelayanan bagi kelompok suku Karo. Pada tahun 1966, kedua Pastor tersebut saling bertukar pikiran untuk mulai membantu para umat di daerah tesebut dan mulai menyajikan program katekese. Pelayanan kedua pastor itu dibantu oleh beberapa orang katekis awam. Salah satu katekis awam yang sangat berperan dalam pelayanan itu adalah Bapak Laurentius S. Barus, yang aktif melakukan pelayanan katekese bagi umat dan calon umat Katolik. Beliau juga aktif mendampingi para pastor dalam pelayanan dan berkatekese. Dengan tak kenal lelah, beliau mengajak dan membimbing umat dengan segala kemampuan yang dimilikinya supaya rajin berdoa. Ia melaksanakan katekese di rumah-rumah umat Katolik, doa rosario, ibadat lingkungan, mengunjungi dan mendoakan orang sakit.
Pelayanan yang dilakukannya membuat banyak orang tertarik dan kemudian dibaptis menjadi Katolik. Kemudian ia meminta kepada pastor paroki Hayam Wuruk supaya diberi izin untuk melaksakan katekese secara khusus di Padang Bulan (wilayah paroki St. Fransiskus Assisi, Padang Bulan – Medan saat ini) sekitar tahun 1965-an. Hal yang sama juga dilakukannya di Padang Bulan dan berkat Tuhan banyak orang yang tertarik dan menjadi Katolik. Dalam pelayanan dan katekesenya, ia selalu dibimbing oleh para pastor (seperti P. Johannes Maximus Brans, OFMCap., P. Timmermars, OFMCap., P. Wim van der Weiden, OFMCap.) dan dibantu oleh kelompok pemuda/i (kemungkinan besar mahasiswa/i dan para pelajar yang beragama Katolik) dengan kegiatan katekese, doa rosario, dan ibadat dari rumah ke rumah dan dari lingkungan ke lingkungan. Dengan cara demikian, akhirnya semakin banyak orang yang tertarik menjadi Katolik. Dalam hal ini sangat jelas tampak peranan kaum awam dan para pemuda dalam pelayanan dan katekese di Padang Bulan.
Jumlah umat Katolik bertambah terus, baik dari suku Karo maupun dari suku Toba, yang merupakan dua suku mayoritas di Padang Bulan pada masa itu (dan juga mungkin sampai saat ini). Hal ini merupakan suatu hal yang menggembirakan karena dua suku yang berada di wilayah yang sama menganut satu agama yang sama, Katolik. Dua suku yang berbeda menjadi komunitas yang sama dan membangun komunitas yang sama yakni komunitas Katolik. Akan tetapi pada tahun 1967, akibat timbulnya masalah internal yang berhubungan dengan adanya perbedaan suku dan bahasa, maka komunitas semula tadi menjadi terpecah dua, yaitu suku Karo ditempatkan di Paroki St. Antonius – Hayam Wuruk, sedangkan suku Toba di Paroki Katedral. Walaupun demikian, umat Katolik semakin hari semakin bertambah terus seiring dengan pelayanan dan katekese yang tidak kenal henti (baik oleh para pastor maupun katekis awam) dan didukung oleh pertambahan jumlah penduduk, perkembangan kota, pertumbuhan ekonomi, dsb.
Misi P. Johannes Maximus Brans, OFMCap., bersama para katekis awam yang memberikan pelayanan dan katekese bagi kelompok suku Karo di Padang Bulan akhirnya berbuah lebih nyata, yang diiringi oleh pertumbuhan dan perkembangan umat Katolik di Padang Bulan yang semakin meningkat. Beberapa waktu kemudian pada tahun 1967, dengan menggembirakan terbentuklah Stasi St. Paulus di Pasar Baru – Padang Bulan dengan gedung gereja permanen yang sudah siap untuk digunakan.
Stasi St. Paulus ini sangat berperan penting bagi terbentuknya paroki baru, paroki St. Paulus, Padang Bulan – Medan, yang berasal dari nama stasi tersebut. Akan tetapi peran penting stasi ini tidak hanya sekadar nama saja. Hal yang paling penting adalah peranan umat stasi St. Paulus tersebut dalam katekese, bertambahnya jumlah umat, perkembangan stasi, tidak hanya di sekitar stasi tersebut bahkan juga sampai ke tempat lain di luar kota Medan. Sumbangan umat, baik dari segi tenaga, perhatian, pemberian diri maupun materi menjadi hal penting dalam perkembangan stasi, jumlah umat, perkembangan iman, semangat berkatekese, dan proses pembentukan. Bahkan setelah terbentuk paroki pun peranan umat sangat penting dalam perjalanan selanjutnya sampai kini dan masa yang akan datang.
Sumber : website Keuskupan Agung Medan